Sadar atau tidak, perusahaan transnasional / multinasional sudah mengontrol hampir sebagian besar sektor-sektor strategis
perekonomian dunia seperti energi, keuangan, telekomunikasi, kesehatan,
pertanian, infrastruktur, air, industri senjata dan makanan. Dan harus diakui
bahwa krisis keuangan yang kita hadapi sekarang ini bukannya melemahkan peran
ekonomi dan pengaruh politik perusahaan-perusahaan besar tersebut. Justru sebaliknya
mereka memperkuat negosiasi mereka dalam berbagai bidang seperti sumber daya
alam, layanan publik, perumahan, energi dan makanan
Perlu disadari bahwa perusahaan-perusahaan
transnasional / multinasional mengakumulasi keuntungan yang begitu besar melalui
mekanisme ekstraksi dan kepemilikan atas modal atau kapital yang menjadi tulang
punggung perekonomian dunia. Meningkatnya eksploitasi buruh dan devaluasi gaji,
tekanan yang besar untuk memperoleh materi prima dan sumber daya alam, spekulasi
finansial baik terhadap para pekerja maupun terhadap para penjual atau
konsumen, membisniskan semua kegiatan kemanusiaan manusia dengan mengabsolutkan
prioritas kapital terhadap semua layanan jasa,
semuanya bertujuan memperkaya jajaran pemilik dan direksi atau pemegang
saham dari perusahaan-perusahaan besar tersebut untuk menjadi milioner.
Tidak mengherankan Amancio Ortega yang
merupakan orang ketiga terkaya di dunia, yang memiliki INDITEX, memproduksi
berbagai jenis baju dari pabrik tekstil dengan kondisi kerja yang paling jelek
di Bangladesh, dan juga Argentina dan Brasil, tetapi menghasilkan keuntungan
yang begitu besar bagi perusahaan. Dampak kemanusiaan yang dihadapi para
pekerja saja tidak diperhatikan apalagi dampak sosial-lingkungan yang langsung
mempengaruhi masyarakat di sekitar atau ekosistem dunia yang semakin rusak. Dalam
bukunya “The New Imperialism”, David
Harvey menyatakan bahwa untuk mendapat keuntungan yang lebih besar para
pengusaha berusaha menekan biaya produksi sesedikit mungkin dan memperbesar
akses ke pasar. Tidak mengherankan dalam beberapa tahun terakhir ini,
berhadapan dengan kurangnya tingkat konsumsi masyarakat, semakin mahalnya
energi dan turunnya rata-rata pendapatan di negara-negara maju, maka berbagai
perusahaan multinasional berusaha mati-matian menurunkan biaya produksi dan
meningkatkan akses pasar hampir ke berbagai pelosok dunia. Inilah yang
menyebabkan berbagai sumber daya alam yang sebelumnya adalah milik umum,
misalnya air, sekarang ini sudah diprivatisasikan dan masuk dalam logika bisnis
kapital, industri nasional juga diswastakan, perkebunan-perkebunan rakyat
diganti oleh perusahaan agro-industri. David Harvey menegaskan bahwa situasi
ini menunjukkan bahwa perbudakan belum enyah dari muka bumi ini. Situasi ini
menyebabkan konflik sosio-ekologi dan kekerasan HAM semakin meningkat hampir di
seluruh dunia.
Menarik sekali untuk disimak bahwa hampir
semua sekolah bisnis dan “think tanks” yang berhubungan dengan
perusahaan-perusahaan multinasional, mengelaborasikan sebuah studi atau analisis
“logika pintar”, yang menyatakan bahwa kehadiran perusahaan
transnasional/multinasional bisa mewujudkan tujuan pembangunan yakni
kesejahteraan masyarakat dan perusahaan-perusahaan tersebut bersedia
melakukannya dengan harga apapun. Berhadapan dengan meningkatnya kemiskinan,
ketidakadilan dalam distribusi hasil pembangunan, dan penolakan dari masyarakat
atas kegiatan perusahaan-perusahaan transnasional / multinasional, para ahli
perusahaan tersebut menempatkan perusahaan mereka sebagai sentral perekonomian dunia
dengan menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional atau transnasional
lebih dari sekedar pembuat masalah juga adalah solusi atas masalah tersebut.
Singkatnya, perusahaan-perusahaan tersebut memiliki peran jauh lebih besar
daripada pemerintah dan masyarakat sipil, jauh lebih siap untuk menjadi
katalisator inovasi dan transformasi menuju sebuah dunia yang lebih
berkesinambungan. Perusahaan-perusahaan tersebut meningkatkan legitimasi sosial
mereka dan memposisikan dirinya sebagai aktor yang tak terhindarkan untuk “keluar
dari krisis”, dengan menekankan pengaruh positif dari kegiatan-kegiatan
perusahaan mereka seperti transfer teknologi, memperbaiki fasilitas umum,
meningkatkan jumlah tenaga kerja, memberikan akses kepada perempuan untuk
mendapat pekerjaan dan meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai motor utama
pembangunan.
Namun demikian, para peneliti pergerakan
sosial dan LSM menolak “logika pintar” sekolah-sekolah bisnis dan
perusahaan-perusahaan tersebut. Mereka menunjukkan realitas lain dari ekspansi
global perusahaan-perusahaan transnasional / multinasional dalam beberapa
pernyataan penting antara lain: pertama: perusahaan-perusahaan
transnasional/multinasional tidak meningkatkan kuantitas maupun kualitas buruh;
juga tidak memberikan bantuan atas fasilitas layanan sosial yang sering mereka
dengungkan; secara praktis mereka tidak melakukan investasi untuk melindungi
masyarakat ataupun lingkungan; dan akhirnya mereka tidak membawa kesejahteraan
atau membangun masyarakat di mana mereka ada, seperti yang mereka janjikan saat
mereka melakukan bisnis, melakukan privatisasi
atau reformasi neoliberal di tahun-tahun 1980-1990-an. Kedua;
perusahaan-perusahaan transnasional / multinasional hanya berbicara tentang
ekonomi. Jarang sekali bahkan ada perusahaan yang tidak berbicara tentang
dampak sosial, politik, lingkungan dan kebudayaan dari kegiatan
internasionalisasi atas bisnis yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut. Ketiga:
siapa yang diuntungkan oleh perusahaan transnasional atau multinasional
tersebut? Yang diuntungkan bukan para buruh atau sebagian besar masyarakat,
melainkan sekelompok kecil pemilik perusahaan.
Berbicara tentang realitas sepak terjang
perusahaan-perusahaan transnasional atau multinasional, harus disadari bahwa dampak
negatif dari kegiatan mereka telah menimbulkan resistensi dan penolakan yang
begitu kuat dari masyarakat. Munculnya “Tribunal
Permanen Masyarakat” ( lihat di www.
enlazandoalternativas.org ; tahun 2006 di Vienna, tahun 2008 di Lima, dan
tahun 2010 di Madrid) mau menunjukkan bahwa “logika pintar”
perusahaan-perusahaan tersebut justru tidak terbukti. Kita lihat beberapa bukti
yang menunjukkan bahwa “logika pintar” tersebut tidak terwujud di Amerika
Selatan. Justru kegiatan perusahaan-perusahaan tersebut harus dibayar mahal
oleh alam , masyarakat dan pemerintah. Perusahaan pertambangan Goldcorn di
Guatemala, perusahaan kertas Botnia di Uruguay, perusahaan minyak/energi Repsol
di Argentina, Bolivia, Kolombia, Peru dan Ekuador, menguras habis sumber daya
alam. Perusahaan Jerman Thyssen Krupp memberikan dampak lingkungan hidup yang
begitu berbahaya atas konstruksi infrastruktur dan kompleks industri untuk
ekspor besi di Rio de Janeiro. Begitu juga dengan proyek-proyek fasilitas umum
yang diprivatisasikan / diswastanisasikan oleh Bank Santander dan BBVA di
Brasil dan Peru, Proyek Agua de Barcelona di Meksiko, Proactiva-FCC dan Unión
Fenosa di Kolombia, Guatemala dan Nicaragua semuanya merusak lingkungan hidup.
Dampak negatif dari kegiatan perusahaan-perusahaan multinasional atau
transnasional ini tidak bisa dilihat sebagai dampak yang biasa, melainkan
sebuah dampak negatif yang tersistematisasi dalam sebuah praksis terpolakan.
Karena itu perusahaan-perusahaan tersebut patut dibawa ke pengadilan
internasional.
DIMENSI
|
DAMPAK
|
CONTOH
|
Ekonomi
|
Menghancurkan
produksi lokal
|
CALVO
di Salvador: eksploitasi ikan yang berlebihan dan menempatkan pabriknya di
zona ekspor
|
Kejahatan
ekonomi: penipuan, korupsi dan penyuapan
|
FCC,
OHL dan Sacyr di Spanyol: mendukung secara finansiil sebuah partai politik
untuk mendapat keuntungan politik atas perusahaan (kasus “Bárcenas”).
|
|
Penggelapan
pajak
|
Sebanyak
33 dari 35 perusahaan spanyol (94%) yang terdaftar di IBEX mendapat
keringanan dalam hal pajak: perusahaan-perusahaan ini memiliki cabangnya yang
berjumlah kurang lebih 437 perusahaan (Diantaranya 72 berafiliasi dengan
Santander, 43 perusahaan dengan BBVA, dan 43 perusahaan dengan REPSOL).
|
|
Politik
|
Hukum
pasar dan hilangnya kontrol
|
REPSOL
Argentina: membawa Argentina ke Pengadilan Bank Dunia (CIADI) karena
menasionalisasikan YPF.
|
Hilang
demokrasi dan merebaknya lobby
|
Gas
Alam Fenosa di Nicaragua: tekanan politik dari perusahaan untuk menghindari
sanksi dari pemerintah Nikaragua
|
|
Kriminalisasi
dan tekanan politik
|
Hidralia
di Guatemala: melanggar hak-hak sipil dan politik masyarakat yang menolak
pembangunan pusat listrik tenaga air di Barillas.
|
|
Sosial
|
Privatisasi
layanan publik
|
Terusan
Isabel di Kolombia: tidak tersedianya air bagi sebagian masyarakat karena
harga air yang mahal; serta tidak tersedianya air di tempat-tempat tertentu
karena persediaan air di tempat tersebut tidak mendatangkan untung bagi
pengusaha air.
|
Kondisi
kerja yang kurang baik dan menolak organisasi buruh
|
Sol
Melia, Marsans dan Barcelo di Meksiko, Amerika Tengah dan Karibia:
eksploitasi buruh dan tidak adanya organisasi yang mempertahankan hak-hak
para buruh
|
|
Ketidakadilan
gender
|
Inditex
dan Mango di Maroko: para perempuan menderita tambahan jam kerja, gaji yang
rendah, dan disiplin kerja yang tidak proporsional.
|
|
Lingkungan
|
Pencemaran
udara, air dan tanah
|
REPSOL
di Ekuador: berkembangnya penyakit akibat pencemaran udara bagi masyarakat
Huaorani di Taman Nasional Yasuní
|
Kehilangan
anekaragam hayati
|
Iberdrola
di Brasil: perusahaan membangun perusahan listrik tenaga air Belo Monte di
Sungai Xingu, di tengah-tengah hutan Amazon.
|
|
Rusaknya
lingkungan dan pemindahan masyarakat
|
ENDESA
di Kolombia: pembangunan listrik tenaga air di El Quimbo, pegunungan
Magdalena.
|
|
Budaya
|
Mengontrol
media komunikasi
|
PRISA
di Amerika Latin: mengontrol opini publik dengan mengambilalih atau menjadi
tuan semua media komunikasi, radio dan televisi.
|
Privatisasi
pendidikan
|
Bank Santander: melalui apa yang disebut Unversia
yakni sebuah kontrak dengan kurang lebih 1.100 universitas di Amerika Latin
|
|
Melanggar
hak-hak masyarakat adat/asli/ indigenas
|
ENDESA
di Chile dan REPSOL di Bolivia: memindahkan perkampungan masyarakat indígenas
dan menghilangkan cosmovisión masyarakat indígenas.
|
Melihat “logika pintar” dan praksis kegiatan
perusahaan multinasional / transnasional patut dipertanyakan apakah peran
perusahaan-perusahaan besar tersebut masih menjadi solusi atas masalah atau
pembuat masalah dalam semua elemen kehidupan masyarakat? Yang jelas kalau
dilihat secara kritis dampak-dampak negatif tersebut bukan hanya merupakan
konsekwensi negatif dari kegiatan perusahaan-perusahaan tersebut, melainkan
kondisi yang diciptakan sedemikian rupa supaya meningkatkan pendapatan perusahaan
dalam segala aspeknya. Tragedi runtuhnya pabrik tekstil Rana Plaza di Banglades
yang memakan ribuan korban meninggal adalah salah satu contoh dari “logika
pintar” mengakumulasi pendapatan sebanyak mungkin dengan menekan biaya
sesedikit mungkin oleh perusahaan-perusahaan transnasional / multinasional.
Kalau mau jujur peristiwa di Banglades tersebut bukan merupakan “kecelakaan”
tetapi adalah hasil dari sebuah sistem produksi yang didasarkan pada
eksploitasi kemiskinan masyarakat
Banglades.
Situasi inilah yang membuat masyarakat
menolak peran perusahaan transnasional / multinasional karena mereka harus
bertanggungjawab atas model sosio-ekonomi yang menglobalisasikan kemiskinan dan
ketidakadilan. Tabel berikut menunjukkan beberapa penolakan oleh masyarakat di
seluruh dunia atas beberapa perusahaan transnasional /multinasional yang
menglobalisasikan kemiskinan dan ketidakadilan.
SEKTOR
|
PERUSAHAAN
|
WILAYAH
|
DIMENSI
|
DAMPAK
|
Tekstil
|
Nike, Adidas, Tommy
Hilfiger, H&M, In ditex, Diesel, Mango, Levi´s, Hanes Brands, El Corte
Inglés
|
Eropa, Asia, Amerika, Afrika
|
Sosial
|
Eksploitasi buruh yang berlebihan dan ketidakadilan gender.
|
Hidrokarbon (minyak/ batubara)
|
REPSOL, BP, Shell,
Exxonmobil, Chevrontexaco,Total, Perenco,Pluspetrol
|
Eropa, Asia,
Amerika, Afrika
|
Politik,
lingkungan dan kebudayaan
|
Destruksi wilayah,
pelanggaran hak-hak masyarakat adat/asli/indígenas, kriminalisasi dan represi
sosial, kontaminasi dan hilangnya keanekaragaman hayati
|
Pertambangan
|
Drummond,
Glencore, BHP Billiton, Xstrata, Vedanta, AngloAmerican, Holcim, Barrick,
Gold, Yamaha Gold, Vale do Rio Doce, Newton, Newmont, Monterrico Metals
|
Eropa, Asia,
Amerika, Afrika
|
Politik,
lingkungan dan kebudayaan
|
Destruksi wilayah,
pelanggaran hak-hak masyarakat adat/asli/indígenas, kriminalisasi dan represi
sosial, kontaminasi dan hilangnya keanekaragaman hayati
|
Pertanian
|
Syngenta, Carrgill,
Monsanto, Chiquita Brands, Del Monte, Bayer, Bunge, Stora Enso, ENCE
|
Amerika, Asia,
Eropa
|
Ekonomi, politik
dan lingkungan
|
Destruksi wilayah,
menghancurkan produk lokal, menghancurkan demokrasi karena yang lebih penting
adalah lobby
|
Keuangan
|
BBVA, Santander,
HSBC dan ING
|
Amerika dan Eropa
|
Ekonomi dan
politik
|
Menghindari pajak,
kejahatan ekonomi lainnya, menghilangkan hak-hak negara dan masyarakat sipil
|
Energi Listrik
|
Gas Natural
Fenosa, Endese, Iberdrola, Enel, Enron, GDF-Suez
|
Afrika, Amerika,
Asia dan Eropa
|
Sosial
|
Privatisasi
layanan publik, ketidakadilan gender, kondisi kerja yang tidak manusiawi dan
hak-hak berorganisasi buruh
|
Air
|
Abengoa, Suez,
Veolia dan Bechtel
|
Afrika, Amerika,
Asia dan Eropa
|
Sosial
|
Privatisasi
layanan publik
|
Benny Kalakoe
7 Oktober 2013
0 comments:
Post a Comment