Perang
ideologi atau aliran politik kiri dan kanan menjadi ciri khas abad XX. “Perang
Dingin” antara ideologi kiri (komunisme) dan ideologi kanan (liberalisme/kapitalisme)
membelah dunia dalam dua kubu besar yakni Amerika Serikat vs Rusia. Selama abad XX Amerika Latin dipimpin oleh
sebagian besar rejim militer beraliran kanan. Gaya kepemimpinan mereka hampir sebagian besar
adalah diktator. Pengaruh politik jajahan Spanyol atau Portugis sangat kental
dalam model kepemimpinan mereka. Kaum elite yang berkuasa, sementara kaum
miskin atau kaum kecil tidak memiliki tempat dalam politik. Kaum kecil atau
kaum miskin sering menjadi korban politik.
Kaum miskin atau kaum kecil, yakni para petani yang tidak memiliki tanah
untuk bercocok tanam dan kaum indígenas yang tanahnya diambil oleh para elite
(pengusaha tambang), melihat aliran kiri
sebagai titik awal perjuangan mereka. Keinginan mereka akan kesamaan hak untuk
diperlakukan sebagai manusia dan warga negara yang sama dijadikan oleh aliran
kiri sebagai lahan yang subur untuk menghidupkan ideologi mereka. Revolusi Sosial
ala Fidel Castro di Kuba. FAR ( Fuerzas
Armadas Revolucionarias = Angkatan Bersenjata Revolusioner), EGP (Ejercito Guerilleros
de los Pobres = Pasukan Gerilya Kaum Miskin), dan ORPA (Organización Revolucionaria del Pueblo Armado
= Organisasi Revolusi Bersenjata Masyarakat Indigenas) di Guatemala. Los Chinchoneros di Honduras.
FMLN (Farabundo Marti para la Liberación Nacional= Gerakan Pembebasan Nasional)
di El Salvador. FARC (Fuerzas Armadas
Revolucionarias Colombianas = Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia), M-19
(Movimiento 19 de Abril = Pergerakan 19 April), EPL (Ejercito Popular de
Liberacion = Pasukan Pembebasan Masyarakat), dan ELN (Ejercito de Liberacion
Nacional = Pasukan Pembebasan Nasional)
di Kolombia. Sendero Luminoso
di Peru. MIR (Movimiento
Izquierdista Revolucionario = Pergerakan Revolusioner Kiri), dan FMR (Frente
Manuel Rodriguez = Pasukan Manuel Rodriguez) di Chile. Los Montoneros dan ERP (Ejercito Revolucionario Popular = Pasukan
Revolusi Popular) di Argentina. MNL
(Movimiento Nacional de Liberación – Tupamaros = Pergerakan Pembebasan Nasional
Tupamaros) di Uruguay. ALN (Alianza
de Liberacion Nacional = Aliansi Pembebasan Nasional) di Brasil. MAR (Movimiento de Accion Revolucionaria = Pergerakan Aksi
Revolusioner) dan Liga Comunista 23 de
Septiembre (Liga Komunis 23 September) di Meksiko.
FALN (Fuerzas Armadas de Liberacion Nacional= Angkatan Bersenjata Pembebasan
Nasional) dan Macheteros di Puerto Rico.
Menangnya Revolusi Sosial di Kuba memperkuat pergerakan aliran kiri di Amerika
Selatan / Latin.
Namun demikian, pada akhir abad XX dan awal abad XXI, gerakan aliran
kiri di Amerika Latin mulai berubah cara. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama, pertama, faktor eksternal yakni runtuhnya
Tembok Berlin dan pecahnya Uni Soviet; kedua faktor internal, “pengalaman
kekerasan” dengan semua pergerakan aliran kiri membuat masyarakat menyadari pentingnya
kebebasan sipil dan demokrasi untuk menghindari diktator militer entah dari
aliran kiri maupun kanan. Dengan demikian aliran kiri mulai masuk dalam gerakan
demokrasi masyarakat. Dalam konteks ini pergerakan aliran kiri yang menang
pemilu masuk dalam keterbatasan struktur dan institusi demokrasi serta dalam
proses konsolidasi politik. Hal inilah yang membuat pergerakan aliran kiri
Lulisme (di Brasil) dan Chavisme (di
Venezuela) berbeda satu dengan yang lainnya.
Presiden Lula da Silva dari Partai Buruh,
menang pemilu tahun 2002 dalam sebuah koalisi dengan partai politik beraliran
tengah-kanan. Tidak mengherankan José
Alencar dari Partai Liberal menjabat sebagai Wapres Lula da Silva. Selama masa pemerintahan Lula da Silva dan
Dilma Rousseff (penerus Lula da Silva) koalisi bahkan semakin dibuka lebar
sehingga Partai Mobililisasi Demokratik Brasil menjadi partner politik utama
pemerintah yang memungkinkan adanya kontrol dari aliran kanan dalam pemerintahan
seperti kementerian (para menteri) dan institusi kenegaraan (seperti bank,
pengadilan dll). Menangnya koalisi
tengah kiri menunjukkan koalisi demokrasi Brasil yang menerima proyek politik
berbeda dalam nukleus hegemoni ekonomi finansial Brasil yang merupakan
perpanjangan tangan dari Partai Demokrasi-Sosial Brasil yang memerintah Brasil
sejak tahun 1995 sampai tahun 2002.
Tidak mengherankan Brasil mengalami masa
konsolidasi demokrasi yang sangat penting untuk memperkuat institusi
pemerintahan. Kemampuan demokrasi untuk menerima siapa yang menang pemilu dan
mengurangi peran neo-liberal negara membuat wajah Brasil menjadi lain dari
sebelumnya. Misalnya, adanya pakta federasi antara berbagai level pemerintahan yang
semakin solid; adanya kompetensi partai politik dan proyek politik; institusi
yang semakin tahu perannya dan pegawai negeri yang semakin stabil dalam karir
kepemerintahannya; pembagian kekuasaan yang jelas dalam bidang pemerintahan;
dan adanya pengawasan masyarakat sipil yang kuat terhadap layanan publik
pemerintah. Namun demikian koalisi yang besar ini juga membatasi proyek
transformasi yang direncanakan oleh aliran kiri yakni inklusi sosial yang harus
dijalankan melalui negosiasi politik dan kemampuan institusional pemerintah.
Aliran kiri yang bernegosiasi dengan kelompok elit Brasil dan keterbatasan
institusional memobilisasi masa yang menjadi ciri khas aliran kiri akhirnya terkontrol.
Setelah hampir sepuluh tahun Partai Buruh yang beraliran kiri berkuasa, inklusi
sosial sudah mulai dirasakan di Brasil walaupun masih begitu banyak hal yang
harus dilakukan misalnya memperbaiki infrastruktur dan layanan publik serta
menghormati hak-hak masyarakat sipil.
Aksi demonstrasi yang dilakukan bulan Juni
2013 lalu menunjukkan adanya ketidakpuasan dalam masyarakat Brasil atas kinerja
pemerintah akibat konsolidasi politik dan penguatan institusi yang membatasi
kemungkinan perubahan radikal dan pelannya transformasi sosial yang diharapkan.
Model demokrasi representatif yang dikembangkan menuntut supaya masyarakat yang
terekslusikan dari politik pemerintah harus menunggu reformasi yang berjenjang
dalam institusi pemerintahan. Dan inilah yang dihadapi oleh Brasil sekarang
ini.
Sementara di Venezuela, pemilihan presiden
tahun 1998 merupakan hasil dari krisis politik, ekonomi dan sosial yang dimulai
sejak tahun 1980-an yang menyebabkan masyarakat tidak senang dengan institusi
politik dan pemerintahan yang ada. Berbeda dengan Brasil, konsolidasi demokrasi
di Venezuela sudah mulai berlangsung sejak lama. Proyek rekonstruksi negara
yang dibuat oleh presiden sebelum Hugo
Chavez yang mengaplikasikan model perekonomian yang dikendalikan oleh IMF membuat
masyarakat Venezuela semakin menginginkan perubahan politik. Hugo Chavez yang
terpilih tahun 1998 dilihat sebagai aktor baru dengan harapan akan perubahan
sosial melalui perubahan konstitusi yang disyahkan melalui dukungan masyarakat,
perjuangan melawan kemiskinan dan menggunakan hasil penjualan sumber kekayaan
minyak bagi orang-orang miskin. Untuk mencapai tujuan tersebut Hugo Chaves menerapkan
dua proyek besar yakni nasionalisme (untuk membangun kembali kekuatan ekonomi
negara) dan Bolivarianisme ( untuk melawan kaum oligarki yang hidup dari
penjualan minyak negara). Proyek Revolusi Bolivariana Hugo Chaves bukan
merupakan konsekwensi dari konsolidasi demokratis melainkan solusi atas krisis
yang didasarkan pada konflik terbuka dengan mereka yang memegang kekuasaan atau
agen-agen politik yang menyebabkan masyarakat Venezuela miskin.
Hugo Chavez mengambil kekuasaan dengan tujuan
mengaplikasikan program politik yang dia sudah dengungkan selama kampanye
pemilihan umum yang ditolak oleh partai oposisi yakni: menghindari kerjasama
dengan kaum elit agen politik lama dan selalu berjuang untuk melawan mereka;
memobilisasi dan mengorganisir masa; serta mempercepat perubahan institusional
yang memungkinkan perubahan yang lebih cepat menuju inklusi dan transformasi
sosial.
Revolusi Bolivariana ala Chavisme ini
meninggalkan dua kondisi politik yang berbeda sekali dengan Brasil yakni:
dukungan politik yang teridentifikasi dengan aliran kiri yang jelas dan adanya
institusionalisme yang sangat lemah dalam pemerintahan. Kondisi pertama
mengakibatkan semua proyek politik pemerintah didukung melalui dukungan masa
aliran kiri yang jelas dan melawan semua gerakan dari aliran kanan yang
menghalangi proyek politik pemerintah. Dengan demikian, negosiasi dan pakta
politik dengan aliran kanan tidak ada dan perubahan radikal dapat dilakukn
dengan cepat. Sementara kondisi lemahnya peran intitusional pemerintah membuat
pemerintah dapat mendesain sebuah negara yang menggunakan sosialisme masyarkat sebagai
basis sosial, politik dan ekonomi. Kegagalan dalam menerapkan proyek tersebut
tidak mengurangi kemauan pemerintah Chavisme untuk terus mencoba karena
institusi pemerintah memang lemah dan membiarkan kegagalan dapat dengan mudah
dilupakan atau dapat dicarikan jalan keluar baru.
Dengan kata lain, tidak adanya koalisi dengan
aliran kanan membuat pemerintahan Chavisme mampu menerapkan agenda yang sudah
dikampanyekan dan lemanya kinerja kerja intitusi pemerintahan membuat pemerintah
dapat melakukan uji coba berbagai proyek politik dengan mudah. Kontrol politik
yang dilakukan hanya oleh aliran kiri di Venezuela menyebabkan pembagian
kekuasaan yang tidak sehat dalam institusi pemerintahan. Tidak ada bedanya antara
Negara, Pemerintah, Partai dan Pergerakan Masyarakat, karena semuanya beraliran
kiri. Inilah yang menyebabkan politik di Venezuela bergantung sesungguhnya pada
satu orang tokoh sentral saja yakni Hugo
Chavez.
Model aliran kiri Lulisme dan Chavisme
masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahannya. Lula da Silva mengambil jalan
yang lebih stabil tetapi lebih lambat. Lulisme menjaga dan mengembangkan
institusi pemerintahan dan demokrasi perwakilan yang sangat baik bagi Brasil
yang sudah lama hidup di bawah rejim militer diktator. Namun di lain pihak
perubahan yang diinginkan sebagai obyek aliran kiri berjalan dengan pelan karena
harus dinegosiasikan dalam koalisi. Sementara di Venezuela, Chavisme
menyebabkan sebuah krisis demokrasi perwakilan yang membuat demokrasi
partisipatif dan langsung terancam punah. Tidak adanya koalisi dengan aliran
tengah dan kanan membuat perubahan yang cepat yang didukung oleh masyarakat
semakin cepat bahkan pemerintah dengan gampang bisa mengubah institusi
pemerintahan. Model ini berbahaya karena menyebabkan kebingungan dalam
institusi pemerintahan sendiri serta menginjak-injak hak asasi mereka yang
menolak proyek pemerintah dengan mudah.
Benny Kalakoe
Lima, 17 September 2013
Benny Kalakoe
Lima, 17 September 2013
0 comments:
Post a Comment